Seorang Pria terihat gagah dan berwibawa dengan sebuah dasi yang dikenakannya. Dia nampak bangga karena tampil perlente dan berwibawa dengan dasi yang digunakannya. Apalagi karena dasi itu dipakainya bekerja sehari-hari didalam sebuah kantor megah, berlantai marmer dan ber AC yang sangat dingin. Lebih bangga lagi, karena untuk berangkat bekerja ke kantor yang megah itu. Ada sebuah mobil mewah beserta pengemudinya yang siap mengantar, dan pria itu duduk di jok belakang dengan santai sambil membaca Koran disepanjang perjalanan.
Di tempat lain, seorang pria nampak berkeringat dan sangat sibuk. Pakaian serta dasi yang dikenakannya terlihat kumal akibat aktifitas yang begitu banyak. Mondar mandir dari bagian belakang sebuah ruangan, menuju bagian tengah ruangan yang didalamnya ada banyak orang-orang yang sedang berdiskusi sambil menikmati makan siang. Pria itu tentu berbeda tugas dengan pria yang saya sebut sebelumnya. Demikian juga dengan dasi yang dikenakannya, sudah pasti berbeda “nasib” dengan dasi yang dikenakan pria yang berkantor megah tadi.
Pria yang pertama adalah seorang PEJABAT. Sedangkan pria yang kedua adalah PELAYAN restoran. Sebuah status yang sangat berbeda.Tetapi bisakah kita membedakan dasi yang mereka pakai sebagai dasi PEJABAT dan dasi PELAYAN ? Rasanya tidak mungkin, karena dasi adalah dasi. Dan menjadi hak siapa saja untuk mengenakannya, baik bagi seorang pelayan maupun seorang pejabat. Bahkan sering kita dengar, Penjahat Berdasi…Sungguh luar biasa peminat benda bernama dasi ini….
Diawal tugas saya menjadi seorang sales, saya adalah salah satu sales yang paling rajin memakai dasi. Bagi saya, dasi adalah sebuah benda sacral yang harus dipakai dalam setiap kegiatan dinas saya. Karenanya dalam setiap kunjungan ke pelanggan, ataupun pertemuan bisnis dengan pelanggan, saya selalu mengenakan dasi. Mungkin hal ini karena “doktrin” seorang sales senior saya yang kemana-mana selalu berdasi. Hobinya berdasi itu sudah mendarah daging. Sampai senangnya, dia bercerita bagaimana dia selalu menggunakan dasi dalam setiap tugas “sales”nya. Tak peduli naik bus kota, sepeda motor sampai jalan kaki sekalipun, dasi itu selalu setia menemaninya. Saya jadi teringat bagaimana saya mengawali tugas sebagai seorang sales di awal-awal saya bekerja. Waktu itu saya berangkat dari kantor saya di daerah jalan bongkaran Surabaya dengan diantar sebuah mobil kantor. Sesampainya di daerah kembang jepun, saya bersama tim sales yang lain harus door to door untu memasarkan product yang saya jual. Dasi yang saya pakai sebenarnya membuat saya tidak merasa nyaman. Karena sejujurnya bagi saya, dasi itu hanya pantas di pakai oleh orang-orang top yang bekerja dan berposisi sebagai top management juga. Namun karena berdasi itu diminta oleh kantor dimana saya bekerja, saya terpaksa setia memakainya.
Seiring dengan berjalannya waktu, kebiasaan memakai dasi itu semakin mendarah daging. Apalagi ketika saya harus bertugas ke Jakarta untuk branches meeting bersama rekan-rekan sales cabang di Indonesia ini. Di Jakarta, banyak orang memakai dasi. Tak peduli apa yang menjadi tugas dan jabatan mereka. Dalam sebuah kesempatan makan siang bersama di sebuah restoran papan atas, saya sempat tersenyum geli karena bukan hanya kami yang berdasi, tetapi juga para pelayan restoran itu pun juga berdasi. Nyaris tak berbeda dengan kami. Nyaris tak ada bedanya antara pelayan dan yang dilayaninya.
Lantas dimana kesakralan sebuah dasi ?
Pertanyaan itu sesungguhnya tak pernah terjawab oleh saya. Apalagi sejak 12 tahun lalu saya pun harus selalu berdasi ketika pergi ke gereja di hari minggu. Selama 12 tahun itu pula saya tak pernah berhenti bertanya, kenapa saya harus selalu pakai dasi ketika melayani jemaat. Sebagai anggota majelis jemaat, memang dasi adalah sebuah kesepakatan bersama yang harus selalu digunakan dalam setiap pelayanan ibadah. Namun terus terang yang menjadi keraguan saya adalah, menjadi seorang anggota majelis jemaat itu sesungguhnya adalah menjadi seorang PEJABAT GEREJAWI sekaligus menjadi PELAYAN JEMAAT. Coba bayangkan, bagaimana bisa kita bersikap seperti itu sekaligus ? Sebagai PEJABAT dan PELAYAN. Sebuah Subject yang sangat berbeda status sosialnya. Tak perlu saya jelaskan bedanya, saya percaya anda semua tahu apa bedanya antara PEJABAT dan PELAYAN. Tugas sebagai pejabat gerejawi pun berbeda dengan tugas sebagai pelayan jemaat. Bedanya tak tanggung-tanggung jauhnya, seperti bumi dengan langit. Sebagai pejabat gerejawi kami dituntut untuk menjadi teladan dalam perkataan,perbuatan dan tentu saja kehidupan iman. Sebagai pelayan kami dituntut untuk melayani siapa saja yang menjadi jemaat beserta segala keperluannya, terutama berkaitan dengan pembinaan iman. Menjalankan kedua tugas itupun, harus selalu ada dasi yang menemani saya.
Saya pernah kuatir, jangan-jangan karena terlena pakai dasi ini, saya lebih condong bersikap sebagai seorang pejabat daripada seorang pelayan. Apalagi bila karena dasi ini sayamenjadi sosok yang dipuja puji orang lain…Wah ngeri !
Saya paham betul, yang ideal adalah tetap berdasi namun berjiwa melayani dengan tulus. Saya sadar seharusnya saya bersikap terus seperti pria kedua tadi. Yang rela dasi nya kumal karena aktifitas pelayanannya. Yang tak pernah bersikap congkak karena memakai dasi karena ingat betul jati dirinya sebagai seorang pelayan. Yang tak pernah malu menyuguhkan hidangan yang membuat orang-orang yang kita layani menjadi puas dan bersukacita. Dasi yang dipakai utk pria kedua itu memang terasa lebih sakral dan bermanfaat.
Dasi tetaplah dasi…Sebuah benda yang biasa saja.
Bukan dia yang membuat kita terlihat terpandang. Bukan karena harga nya yang mahal akhirnya menjadikan kita di hormati orang lain. Namun karena bagaimana kita menghayati dan bertanggungjawab ketika mengenakannya. Dasi adalah perlambang sebuah tugas sebagai PEJABAT sekaligus PELAYAN. Sebuah sikap yang akhir-akhir ini sejujurnya langka di negeri kita. Namun tentu benda bernama dasi itu tak mampu mengelak dan menolak untuk dipakai seorang PEJABAT yang tak punya jiwa melayani. Dasi hanya bisa pasrah. Kitalah yang seharusnya tahu diri…Apalagi ketika kita merasa bahwa dasi ini hanya menambah kemegahan bagi diri kita tanpa mendatangkan manfaat lain bagi hidup kita.
Teman-Temanku sesama pemakai Dasi…
Mari kita jaga kesakralan dasi sebagai sebuah benda yang mencerminkan sosok PEJABAT yang MELAYANI. Karena sesungguhnya itulah yang diharapkan Kristus bagi kita. Jangan pernah ragu untuk “membasuh kaki” sesama kita. Karena DIA pernah melakukan itu untuk murid-muridNya
Jangan pernah capek memakai dasi, apalagi ketika kita masih memakainya dan kita merasa ada banyak hal yang masih belum bisa kita perbuat. Teruslah memakainya, dan biarlah dasi itu menguatkan dan mendampingi kita untuk bersikap sebagai seorang “PEJABAT” yang berjiwa melayani…
Bagi para wanita,
Berbahagialah bila didalam kehidupan anda telah memiliki Pria Berdasi…
Dedicated to the men in neckties