Selasa, Juli 17, 2012

Belajar dari Ibu


Terkadang saya tak habis pikir mengingat masa lalu Ibu saya. Kala itu di sekitar tahun 1965, beliau tegar untuk  menginggalkan orang tua dan tanah kelahirannya untuk memasuki kehidupan baru di Pulau Jawa. Jarak sekitar  700 km di tempuh dari Bali ke Semarang  demi sebuah tantangan kehidupan yang baru. Selepas lulus SMP, ibu saya memberanikan diri pergi ke sekolah jawa, tepat nya di sekolah kebidanan Panti Wilasa Semarang.

Sampai hari ini pula, saya tak pernah mendapatkan jawaban pasti. Apakah yang mendorong Pekak dan Nini (kakek dan nenek) saya kala itu. Sehingga beliau berdua mengijinkan anak perempuannya yang masih ABG untuk merantau ke pulau jawa.  Saat itu sudah pasti sarana transportasi dan telekomunikasi  tidak seperti sekarang yang sudah canggih dan serba cepat. Mungkin hanya sepucuk surat atau telegram yang dapat di pakai untuk berbagi berita kepada keluarga. Apakah pekak dan nini tidak pernah kuatir kehilangan anak gadisnya di pulau jawa ? Sayang sampai beliau berdua meninggal belasan tahun yang lalu, saya tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti atas hal itu

Yang pasti saya sekarang berpikir dan merasakan bahwa Ibu saya adalah sosok yang tegar. Dan itu bukan terjadi dalam waktu yang singkat dan mudah. Namun melalui proses panjang, sejak 47 tahun yang lalu. Ada banyak proses kehidupan yang beliau hadapi dengan ketegaran dan sikap mental yang positif. Sekitar 7 tahun yang lalu beliau di vonis menderita kanker rahim. Saat itu beliau sempat menangis, tetapi dengan tegar beliau menghadapi penyakit itu. Perjuangannya mengalahkan kanker membawa hasil yang luar biasa. Sampai saat ini dokter yang merawat menyatakan sudah tidak terlihat ancaman kanker didalam tubuh Ibu. Puji Tuhan !

Setahun kemudian, kesabaran beliau di uji. Ketika bapak saya harus menjalani cuci darah akibat gagal ginjal. Hampir dua minggu sekali, beliau berdua pergi ke RS Dr Soetomo untuk menjalani proses cuci darah. Bagi anda yang belum pernah masuk ke ruang cuci darah RS Dr Soetomo, mungkin sulit anda bayangkan. Puluhan pasien berbaring di sisi mesin pencuci darah. Terlihat selang berwarna merah segar yang di tancapkan di tangan para pasien. Belum lagi aroma ruangan yang terasa sedikit berbeda dengan ruangan perawatan pasien lainnya. Mungkin karena obat atau cairan yang dipakai untuk mencuci darah. Yang pasti sampai sekarang saya tidak bisa lupa bau nya yang sedikit menyengat itu. Sepanjang menemani Bapak menjalani proses cuci darah itu, Ibu ikut merawat dan membantu paramedis di Ruangan Cuci Darah. Jiwa penolong nya tidak bisa berhenti melihat kondisi ruangan saat itu. Dengan perjuangan dan kesetiaan, beliau menemani Bapak sampai 2 tahun kemudian. Saat Bapak di panggil pulang kembali kerumah Bapa di Sorga.

Selain tegar, Ibu saya juga selalu berusaha bersikap mandiri. Pernah beliau memaksa diri untuk belajar mengendarai  roda 4. Waktu itu beliau belajar nyetir Karimun. Setiap pagi dengan setia Bapak mendampingi Ibu untuk belajar mengemudi. Sayang sebuah kecelakaan lalu lintas membuat Ibu trauma untuk belajar lagi. Dan mobil karimun hitam milik kami, terpaksa kami jual karena sudah terlanjur cacat body. Namun toh demikian setidaknya beliau masih bisa mengendarai motor. Walau saya terus mengingatkan agar berhati-hati mengendarai roda dua mengingat lalu lintas Surabaya yang selalu padat.

Tantangan yang baru saja di lewati Ibu saya adalah berstudy lagi. Sesuai aturan pemerintah, seorang bidan hanya diijinkan praktek swasta bila sudah memiliki standart ketrampilan khusus dan berlatar belakang pendidikan diploma kebidanan. Saya sebenarnya sudah meminta beliau untuk beristirahat dan tidak perlu memaksa diri. Tetapi saya kagum dengan semangat beliau untuk mengikuti perkuliahan. Setiap hari senin-jumat dari siang sampai sore beliau belajar bersama teman-teman bidan lainnya. Dan hari Rabu 11 Juli 2012  kemarin beliau harus berhadapan dengan para dosen pengajarnya untuk mempertahankan Karya Tulis Ilmiah nya. Hari selasa malam beliau mengaku tidak bisa tidur. Saya pun demikian, tetap bukan karena memikirkan Ibu. Tetapi karena hari Rabu itu juga saya harus meeting dengan Direksi. Yang pasti saat itu saya dan Ibu sama sama Galau. Yang membanggakan saya adalah, hasil yang di raih ibu untuk karya Tulis Ilmiah itu. Atas karyanya, para dosen penguji memberikan nilai A. Saya hanya berteriak dalam hati, “ LUAR BIASA !”

Sekarang, di masa pensiun nya beliau tetap berkarya. Adalah BKKBN Surabaya yang mengajak Ibu untuk melayani sesama didalam program Keluarga Berencana. Setiap hari senin-jumat  beliau harus melayani klinik yang di buat BKKBN. Beliau menerima ajakan ini bukan semata-mata untuk mendapatkan kesibukan apalagi mendapatkan gajinya. Yang membuat saya bangga adalah beliau hanya ingin melayani sesama nya lewat ilmu yang dimilikinya.
Sebagai anak,tentu saya tidak bisa hanya bangga. Tetapi sekarang saya sadar, bahwa saya harus meneladani keteguhannya. Saya harus belajar bagaimana menghadapi tantangan kehidupan. Dengan bahasa lain saya harus belajar kepada beliau, bagaimana menaklukan kehidupan. Saya merasa beruntung memiliki dia. Dengan segala kelebihan dan juga kekurangannya. Satu hal yang menjadi kekurangan terbesar nya adalah sikap keras kepala nya didalam memegang prinsip. Dan untuk yang satu ini, terkadang adik saya menangis dan merasa lelah menghadapinya.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada super woman di kehidupan nyata. Tetapi keteguhan dan pola pikir yang positif itulah yang harus kita teladani. Tak ada yang tak bisa bila kita mau melakukan nya dengan kesungguhan dan keuletan.

Ibu, terima kasih untuk keteladanan yang kau tunjunkan. Darimu aku belajar bagaimana menaklukan kehidupan…Dan…Aku bangga menjadi anakmu