Selasa, Agustus 28, 2012

Menjadi Pejantan Tangguh (Belajar dari Bapak)

Masa mudanya liar. Jarang di rumah dan berkelana di jalanan bagaikan anak jalanan. Hidupnya  sebagai anggota geng motor, menjadikannya memiliki banyak teman. Rally motor, kirab motor gede menjadi bagian dari hidup nya di masa muda. Saya melihat itu semua didalam album masa muda Bapak saya. Semua album foto hitam putih yang  kini sudah mulai berjamur itu menjadi saksi, betapa gaul masa muda bapak saya.
Terlahir sebagai anak sulung di sebuah dusun kecil, bernama dempelan madiun pada 74 tahun silam. Ayahnya (yang sekaligus juga kakek saya) adalah seorang mandor PERHUTANI bernama Tukiman. Sebagai sulung dari 8 bersaudara kehidupan keluarga bapak sebenarnya cukup mapan. Terbukti dengan  rumah Kakek yang berada tepat di tengah kota madiun. Namun rupanya Kakek saya saat itu adalah seorang yang demokratis. Sehingga memberikan kebebasan setiap anak-anaknya didalam berjuang menjalani kehidupan.
Dimasa mudanya, ayah saya jatuh cinta terhadap seorang gadis bali berambut panjang. Pertemuan  itu terjadi di kota semarang, tepatnya di asrama bidan RS Panti Wilasa. Pertemuan itu terjadi dengan latar belakang yang unik. Dimana masing-masing pihak baru saja mengalami putus cinta dengan pacar masing-masing. Cinta akhirnya mempersatukan mereka. Dan pada akhirnya bapak saya, SOEHARTO menikah dengan Ni MADE RAWI (yang sudah pasti pada akhirnya menjadi ibu saya) didalam sebuah upacara pemberkatan Nikah di GKPB Bali 10 Februari 1974. Di saat itu pula, Bapak menerima Sakramen Baptis Suci sebagai tanda meterai keselamatan oleh karya Kristus.
Kedua pasangan pengantin baru ini benar-benar bonek. Setelah menikah, berbekal pakaian dalam koper mereka meninggalkan Bali menuju Surabaya. Saya tak pernah tahu alasannya mengapa mereka memilih Surabaya. Yang pasti kehidupan mereka tidak mudah. Saya terlahir di sebuah RSB Nias Surabaya dan kemudia di besarkan didalam sepetak kamar kontrakan di jalan manyar Surabaya.  Situasinya benar-benar sulit saat itu. Bapak mencari nafkah sebagai pemborong bangunan. Sementara ibu saya menjadi tenaga medis di RSB Pura Raharja Surabaya.  Pendapatan kedua orang tua saya hanya cukup untuk bayar kontrakan kamar dan makan sehari-hari. Yang luar biasa mereka juga masih di titipi adik-adiknya yang mencoba merantau ke Surabaya, mengadu nasib. Jangankan membelikan saya baju baru. Membeli sepasang kaos kaki saja, sulitnya bukan main. Maka ketika kaos kaki saya jatuh ke sumur saat di cuci. Ibu saya menangis histeris karena kehilangan sebuah kaos kaki.
Perjuangan bapak cukup berat. Setelah tidak ada order sebagai pemborong bangunan. Beliau mencoba berbisnis jual beli mobil dan jual beli rumah. Istilah keren beliau saat itu, kerja sebagai “pengacara” alias pengangguran tapi banyak acara. Kegiatannya cukup padat, sehingga kadang-kadang menjemput saya pulang sekolahpun terlambat. Dan sayapun menangis, walau hanya gara-gara terlambat di jemput oleh bapak. Kalau sudah begitu, Bapak pasti marah. Sepeda motor vespa dilarikan kencang, dan saya diturunkan di areal pemakaman manyar. Sudah pasti tangis saya makin kencang saat itu.
Kehidupan perekonomian kami mulai membaik ketika ibu saya bekerja rangkap sebagai assisten dokter spesialis anak. Bapak saya dengan setia mengantar jemput ibu saat berangkat dan pulang kerja. Dari keringat beliau, kami bisa membeli sebuah mobil Daihatsu “ceketer” yang saat itu harganya Rp 1.750.000,-. Bapak segera mulai belajar nyetir. Saya ingat saat itu beliau belajar nyopir bersama seorang sahabat karibnya bernama “om rawi”, seorang sopir bemo di terminal bratang. Saya dan adik saya yang lahir 5 tahun kemudian bahagia karena setiap malam minggu, bapak dan ibu mengajak saya jalan-jalan ke pasar pucang.
Kehidupan yang lebih baik  makin kami rasakan sejakn pertengahan tahun 80 an. Ibu  diterima sebagai PNS dan bapak makin laris manis jual beli mobilnya. Dari sebuah rumah di nginden kota II/56C kami pindah ke Nginden Baru IV/28. Di rumah ini bapak mengajak “mbah kromo”, seorang budhe nya untuk membuka depot/warung di halaman depan rumah. Aneka makanan di sajikan dan cukup laris karena daerah nginden baru adalah daerah kost-kostan mahasiswa untag,unitomo dan perbanas. Tak cukup hanya itu, 3 kamar di rumah di sewakan oleh bapak untuk kost mahasiswa. Semua demi menambah penghasilan keluarga kami.
Akhirya, berkat Tuhan membawa kami ke sebuah rumah baru di nginden intan timur XI/5. Di tempat inilah kami semakin merasakan betapa luar biasanya berkat Tuhan. Ibu menerima surat ijin praktek bidan dari Dinkes Surabaya. Sehingga rumah kami dipakai untuk praktek dan menolong persalinan. Saya pernah mencatat, dalam sebulan pernah pecah rekor 30 orang melahirkan. Artinya hampir tiap hari ada yang melahirkan dirumah. Sudah pasti karena kemurahan Tuhan ini, kami memiliki kehidupan yang lebih matang. Dan bapak, tetap setia dengan bisnis dan kegiatan “pengacara”nya. Saya ingat, dalam sebulan pernah terjual 5 unit mobil dengan keuntungan yang luar biasa. Kami menikmatinya dengan makan bersama makanan chiness food di kaki lima jalan nias. Sebuah tempat yang sudah sungguh sangat mewah kala itu bagi kami.
Di masa tuanya, bapak tetap eksis dan gaul. Banyak korban sayang dan isengnya. Salah satunya adalah Pyo. Seorang kerabat yang sangat disayanginya. Begitu sayangnya bapak, sampai-sampai setiap badannya merasa pegal, bapak hanya mau di pijat oleh Pyo. Terhadap keponakannya, juga begitu. Nano yang ganteng di panggilnya ambon gara-gara kulitnya yang hitam. Lucunya, nano tak pernah protes. Hanya berani nyengir saat dipanggil ambon oleh bapak.  Lain cerita soal widya teman adik saya. Hampir setiap main kerumah nginden, sandalnya hilang. Karena di sembunyikan oleh bapak. Mau marah tak berani, sehingga dia hanya teriak,”Om….dimana sandalku ???”
Semua keusilan itu mulai luntur ketika usia 67 tahun, bapak di vonis gagal ginjal. Seminggu dua kali beliau harus cuci darah di RS Dr Soetomo. Namun toh demikian, setiap berangkat cuci darah. Beliau masih mampu setir mobil sendiri. Ketika seorang tetangga bertanya,”mau kemana pakdhe?”Bapak hanya menjawab,”Kuliah !” Ibu saya hanya bisa tersenyum melihat itu semua.
Menjelang ajal tiba. Di usia ke-70, Bapak masih sanggup berjalan kaki menuju RS Husada Utama. Bahkan turun dari mobil menuju IRD, beliau tidak mau dibantu dengan kursi roda sekalipun. Dalam penanganan tim dokter yang hanya selama 2,5 jam. Bapak pulang menghadap Bapak di sorga dengan senyum termanis. Disaat duka,lagi-lagi kami dibuat tersenyum lucua. Karena kunci rumah ada di saku celana bapak saat itu. Sehingga kami terpaksa merogoh celana yang dikenakan bapak saat meninggal, hanya untuk mencari kunci rumah.
Dari beliau saya belajar bagaimana setia dan teguh dalam berjuang menjalani hidup. Dari beliau juga saya belajar bagaimana menjalani hidup dengan senyuman. Dari beliau juga saya belajar bagaimana hidup rendah hati dan bersahaja. Yang lebih penting dari itu semua, bagaimana hidup bersanding dengan mesra dengan begitu banyak teman.
Bapak meninggalkan kami dengan berjuta kenangan manis. Kasih sayangnya kami simpan sebagai harta warisan yang mahal harganya. Walau saat meninggalkan kami, tak ada rekening tabungan apalagi deposito atas nama beliau. Hanya sebuah dompet yang didalam nya hanya ada foto Ibu saya di masa muda. Dan…. uang sejumlah Rp 120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah). Itulah yang menjadi harta peninggalan bapak. Tapi bagi kami, harta itu sudah sangat luar biasa. Karena jika kami renungkan, bapak mengajarkan kepada kami untuk hidup tidak berpaku pada harta duniawi saja.
Saya terus mengenang senyum manisnya. Saya juga terus mengenang gayanya sebagai pejantan tangguh dalam kehidupan. Dan kini hanya sebuah makam dan foto yang menjadi teman ketika saya rindu pada senyum manis. Ketika saya rindu pada sifat gokil nya…

Surabaya 28 Agustus 2012
Tombo kangen dumateng alm bapak soeharto…