Terlahir sebagai anak sulung di sebuah dusun kecil, bernama
dempelan madiun pada 74 tahun silam. Ayahnya (yang sekaligus juga kakek saya)
adalah seorang mandor PERHUTANI bernama Tukiman. Sebagai sulung dari 8
bersaudara kehidupan keluarga bapak sebenarnya cukup mapan. Terbukti dengan rumah Kakek yang berada tepat di tengah kota
madiun. Namun rupanya Kakek saya saat itu adalah seorang yang demokratis.
Sehingga memberikan kebebasan setiap anak-anaknya didalam berjuang menjalani
kehidupan.
Dimasa mudanya, ayah saya jatuh cinta terhadap seorang gadis
bali berambut panjang. Pertemuan itu
terjadi di kota semarang, tepatnya di asrama bidan RS Panti Wilasa. Pertemuan
itu terjadi dengan latar belakang yang unik. Dimana masing-masing pihak baru
saja mengalami putus cinta dengan pacar masing-masing. Cinta akhirnya
mempersatukan mereka. Dan pada akhirnya bapak saya, SOEHARTO menikah dengan Ni
MADE RAWI (yang sudah pasti pada akhirnya menjadi ibu saya) didalam sebuah upacara
pemberkatan Nikah di GKPB Bali 10 Februari 1974. Di saat itu pula, Bapak
menerima Sakramen Baptis Suci sebagai tanda meterai keselamatan oleh karya
Kristus.
Kedua pasangan pengantin baru ini benar-benar bonek. Setelah
menikah, berbekal pakaian dalam koper mereka meninggalkan Bali menuju Surabaya.
Saya tak pernah tahu alasannya mengapa mereka memilih Surabaya. Yang pasti kehidupan
mereka tidak mudah. Saya terlahir di sebuah RSB Nias Surabaya dan kemudia di
besarkan didalam sepetak kamar kontrakan di jalan manyar Surabaya. Situasinya benar-benar sulit saat itu. Bapak
mencari nafkah sebagai pemborong bangunan. Sementara ibu saya menjadi tenaga
medis di RSB Pura Raharja Surabaya. Pendapatan kedua orang tua saya hanya cukup
untuk bayar kontrakan kamar dan makan sehari-hari. Yang luar biasa mereka juga
masih di titipi adik-adiknya yang mencoba merantau ke Surabaya, mengadu nasib.
Jangankan membelikan saya baju baru. Membeli sepasang kaos kaki saja, sulitnya
bukan main. Maka ketika kaos kaki saya jatuh ke sumur saat di cuci. Ibu saya
menangis histeris karena kehilangan sebuah kaos kaki.
Perjuangan bapak cukup berat. Setelah tidak ada order
sebagai pemborong bangunan. Beliau mencoba berbisnis jual beli mobil dan jual
beli rumah. Istilah keren beliau saat itu, kerja sebagai “pengacara” alias
pengangguran tapi banyak acara. Kegiatannya cukup padat, sehingga kadang-kadang
menjemput saya pulang sekolahpun terlambat. Dan sayapun menangis, walau hanya
gara-gara terlambat di jemput oleh bapak. Kalau sudah begitu, Bapak pasti
marah. Sepeda motor vespa dilarikan kencang, dan saya diturunkan di areal pemakaman
manyar. Sudah pasti tangis saya makin kencang saat itu.
Kehidupan perekonomian kami mulai membaik ketika ibu saya
bekerja rangkap sebagai assisten dokter spesialis anak. Bapak saya dengan setia
mengantar jemput ibu saat berangkat dan pulang kerja. Dari keringat beliau,
kami bisa membeli sebuah mobil Daihatsu “ceketer” yang saat itu harganya Rp
1.750.000,-. Bapak segera mulai belajar nyetir. Saya ingat saat itu beliau
belajar nyopir bersama seorang sahabat karibnya bernama “om rawi”, seorang
sopir bemo di terminal bratang. Saya dan adik saya yang lahir 5 tahun kemudian
bahagia karena setiap malam minggu, bapak dan ibu mengajak saya jalan-jalan ke
pasar pucang.
Kehidupan yang lebih baik makin kami rasakan sejakn pertengahan tahun 80
an. Ibu diterima sebagai PNS dan bapak
makin laris manis jual beli mobilnya. Dari sebuah rumah di nginden kota II/56C
kami pindah ke Nginden Baru IV/28. Di rumah ini bapak mengajak “mbah kromo”,
seorang budhe nya untuk membuka depot/warung di halaman depan rumah. Aneka
makanan di sajikan dan cukup laris karena daerah nginden baru adalah daerah
kost-kostan mahasiswa untag,unitomo dan perbanas. Tak cukup hanya itu, 3 kamar
di rumah di sewakan oleh bapak untuk kost mahasiswa. Semua demi menambah
penghasilan keluarga kami.
Akhirya, berkat Tuhan membawa kami ke sebuah rumah baru di
nginden intan timur XI/5. Di tempat inilah kami semakin merasakan betapa luar
biasanya berkat Tuhan. Ibu menerima surat ijin praktek bidan dari Dinkes
Surabaya. Sehingga rumah kami dipakai untuk praktek dan menolong persalinan.
Saya pernah mencatat, dalam sebulan pernah pecah rekor 30 orang melahirkan.
Artinya hampir tiap hari ada yang melahirkan dirumah. Sudah pasti karena kemurahan
Tuhan ini, kami memiliki kehidupan yang lebih matang. Dan bapak, tetap setia
dengan bisnis dan kegiatan “pengacara”nya. Saya ingat, dalam sebulan pernah
terjual 5 unit mobil dengan keuntungan yang luar biasa. Kami menikmatinya
dengan makan bersama makanan chiness food di kaki lima jalan nias. Sebuah
tempat yang sudah sungguh sangat mewah kala itu bagi kami.
Di masa tuanya, bapak tetap eksis dan gaul. Banyak korban sayang
dan isengnya. Salah satunya adalah Pyo. Seorang kerabat yang sangat
disayanginya. Begitu sayangnya bapak, sampai-sampai setiap badannya merasa
pegal, bapak hanya mau di pijat oleh Pyo. Terhadap keponakannya, juga begitu.
Nano yang ganteng di panggilnya ambon gara-gara kulitnya yang hitam. Lucunya,
nano tak pernah protes. Hanya berani nyengir saat dipanggil ambon oleh bapak. Lain cerita soal widya teman adik saya. Hampir
setiap main kerumah nginden, sandalnya hilang. Karena di sembunyikan oleh
bapak. Mau marah tak berani, sehingga dia hanya teriak,”Om….dimana sandalku ???”
Semua keusilan itu mulai luntur ketika usia 67 tahun, bapak
di vonis gagal ginjal. Seminggu dua kali beliau harus cuci darah di RS Dr
Soetomo. Namun toh demikian, setiap berangkat cuci darah. Beliau masih mampu setir
mobil sendiri. Ketika seorang tetangga bertanya,”mau kemana pakdhe?”Bapak hanya
menjawab,”Kuliah !” Ibu saya hanya bisa tersenyum melihat itu semua.
Menjelang ajal tiba. Di usia ke-70, Bapak masih sanggup
berjalan kaki menuju RS Husada Utama. Bahkan turun dari mobil menuju IRD,
beliau tidak mau dibantu dengan kursi roda sekalipun. Dalam penanganan tim
dokter yang hanya selama 2,5 jam. Bapak pulang menghadap Bapak di sorga dengan
senyum termanis. Disaat duka,lagi-lagi kami dibuat tersenyum lucua. Karena kunci
rumah ada di saku celana bapak saat itu. Sehingga kami terpaksa merogoh celana
yang dikenakan bapak saat meninggal, hanya untuk mencari kunci rumah.
Dari beliau saya belajar bagaimana setia dan teguh dalam
berjuang menjalani hidup. Dari beliau juga saya belajar bagaimana menjalani
hidup dengan senyuman. Dari beliau juga saya belajar bagaimana hidup rendah
hati dan bersahaja. Yang lebih penting dari itu semua, bagaimana hidup
bersanding dengan mesra dengan begitu banyak teman.
Bapak meninggalkan kami dengan berjuta kenangan manis. Kasih
sayangnya kami simpan sebagai harta warisan yang mahal harganya. Walau saat
meninggalkan kami, tak ada rekening tabungan apalagi deposito atas nama beliau.
Hanya sebuah dompet yang didalam nya hanya ada foto Ibu saya di masa muda. Dan….
uang sejumlah Rp 120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah). Itulah yang menjadi
harta peninggalan bapak. Tapi bagi kami, harta itu sudah sangat luar biasa.
Karena jika kami renungkan, bapak mengajarkan kepada kami untuk hidup tidak
berpaku pada harta duniawi saja.
Saya terus mengenang senyum manisnya. Saya juga terus
mengenang gayanya sebagai pejantan tangguh dalam kehidupan. Dan kini hanya
sebuah makam dan foto yang menjadi teman ketika saya rindu pada senyum manis.
Ketika saya rindu pada sifat gokil nya…
Surabaya 28 Agustus 2012
Tombo kangen dumateng alm bapak soeharto…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar