Terkadang saya tak habis pikir mengingat masa lalu Ibu saya.
Kala itu di sekitar tahun 1965, beliau tegar untuk menginggalkan orang tua dan tanah kelahirannya
untuk memasuki kehidupan baru di Pulau Jawa. Jarak sekitar 700 km di tempuh dari Bali ke Semarang demi sebuah tantangan kehidupan yang baru. Selepas
lulus SMP, ibu saya memberanikan diri pergi ke sekolah jawa, tepat nya di
sekolah kebidanan Panti Wilasa Semarang.
Sampai hari ini pula, saya tak pernah mendapatkan jawaban
pasti. Apakah yang mendorong Pekak dan Nini (kakek dan nenek) saya kala itu. Sehingga
beliau berdua mengijinkan anak perempuannya yang masih ABG untuk merantau ke
pulau jawa. Saat itu sudah pasti sarana
transportasi dan telekomunikasi tidak
seperti sekarang yang sudah canggih dan serba cepat. Mungkin hanya sepucuk
surat atau telegram yang dapat di pakai untuk berbagi berita kepada keluarga.
Apakah pekak dan nini tidak pernah kuatir kehilangan anak gadisnya di pulau
jawa ? Sayang sampai beliau berdua meninggal belasan tahun yang lalu, saya tak
pernah mendapatkan jawaban yang pasti atas hal itu
Yang pasti saya sekarang berpikir dan merasakan bahwa Ibu
saya adalah sosok yang tegar. Dan itu bukan terjadi dalam waktu yang singkat
dan mudah. Namun melalui proses panjang, sejak 47 tahun yang lalu. Ada banyak
proses kehidupan yang beliau hadapi dengan ketegaran dan sikap mental yang
positif. Sekitar 7 tahun yang lalu beliau di vonis menderita kanker rahim. Saat
itu beliau sempat menangis, tetapi dengan tegar beliau menghadapi penyakit itu.
Perjuangannya mengalahkan kanker membawa hasil yang luar biasa. Sampai saat ini
dokter yang merawat menyatakan sudah tidak terlihat ancaman kanker didalam
tubuh Ibu. Puji Tuhan !
Setahun kemudian, kesabaran beliau di uji. Ketika bapak saya
harus menjalani cuci darah akibat gagal ginjal. Hampir dua minggu sekali, beliau
berdua pergi ke RS Dr Soetomo untuk menjalani proses cuci darah. Bagi anda yang
belum pernah masuk ke ruang cuci darah RS Dr Soetomo, mungkin sulit anda
bayangkan. Puluhan pasien berbaring di sisi mesin pencuci darah. Terlihat
selang berwarna merah segar yang di tancapkan di tangan para pasien. Belum lagi
aroma ruangan yang terasa sedikit berbeda dengan ruangan perawatan pasien
lainnya. Mungkin karena obat atau cairan yang dipakai untuk mencuci darah. Yang
pasti sampai sekarang saya tidak bisa lupa bau nya yang sedikit menyengat itu.
Sepanjang menemani Bapak menjalani proses cuci darah itu, Ibu ikut merawat dan
membantu paramedis di Ruangan Cuci Darah. Jiwa penolong nya tidak bisa berhenti
melihat kondisi ruangan saat itu. Dengan perjuangan dan kesetiaan, beliau
menemani Bapak sampai 2 tahun kemudian. Saat Bapak di panggil pulang kembali
kerumah Bapa di Sorga.
Selain tegar, Ibu saya juga selalu berusaha bersikap
mandiri. Pernah beliau memaksa diri untuk belajar mengendarai roda 4. Waktu itu beliau belajar nyetir
Karimun. Setiap pagi dengan setia Bapak mendampingi Ibu untuk belajar
mengemudi. Sayang sebuah kecelakaan lalu lintas membuat Ibu trauma untuk
belajar lagi. Dan mobil karimun hitam milik kami, terpaksa kami jual karena
sudah terlanjur cacat body. Namun toh demikian setidaknya beliau masih bisa
mengendarai motor. Walau saya terus mengingatkan agar berhati-hati mengendarai
roda dua mengingat lalu lintas Surabaya yang selalu padat.
Tantangan yang baru saja di lewati Ibu saya adalah berstudy
lagi. Sesuai aturan pemerintah, seorang bidan hanya diijinkan praktek swasta
bila sudah memiliki standart ketrampilan khusus dan berlatar belakang pendidikan
diploma kebidanan. Saya sebenarnya sudah meminta beliau untuk beristirahat dan
tidak perlu memaksa diri. Tetapi saya kagum dengan semangat beliau untuk
mengikuti perkuliahan. Setiap hari senin-jumat dari siang sampai sore beliau
belajar bersama teman-teman bidan lainnya. Dan hari Rabu 11 Juli 2012 kemarin beliau harus berhadapan dengan para
dosen pengajarnya untuk mempertahankan Karya Tulis Ilmiah nya. Hari selasa
malam beliau mengaku tidak bisa tidur. Saya pun demikian, tetap bukan karena
memikirkan Ibu. Tetapi karena hari Rabu itu juga saya harus meeting dengan
Direksi. Yang pasti saat itu saya dan Ibu sama sama Galau. Yang membanggakan
saya adalah, hasil yang di raih ibu untuk karya Tulis Ilmiah itu. Atas
karyanya, para dosen penguji memberikan nilai A. Saya hanya berteriak dalam
hati, “ LUAR BIASA !”
Sekarang, di masa pensiun nya beliau tetap berkarya. Adalah
BKKBN Surabaya yang mengajak Ibu untuk melayani sesama didalam program Keluarga
Berencana. Setiap hari senin-jumat
beliau harus melayani klinik yang di buat BKKBN. Beliau menerima ajakan
ini bukan semata-mata untuk mendapatkan kesibukan apalagi mendapatkan gajinya.
Yang membuat saya bangga adalah beliau hanya ingin melayani sesama nya lewat
ilmu yang dimilikinya.
Sebagai anak,tentu saya tidak bisa hanya bangga. Tetapi
sekarang saya sadar, bahwa saya harus meneladani keteguhannya. Saya harus
belajar bagaimana menghadapi tantangan kehidupan. Dengan bahasa lain saya harus
belajar kepada beliau, bagaimana menaklukan kehidupan. Saya merasa beruntung
memiliki dia. Dengan segala kelebihan dan juga kekurangannya. Satu hal yang
menjadi kekurangan terbesar nya adalah sikap keras kepala nya didalam memegang
prinsip. Dan untuk yang satu ini, terkadang adik saya menangis dan merasa lelah
menghadapinya.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada super woman di
kehidupan nyata. Tetapi keteguhan dan pola pikir yang positif itulah yang harus
kita teladani. Tak ada yang tak bisa bila kita mau melakukan nya dengan
kesungguhan dan keuletan.
Ibu, terima kasih untuk keteladanan yang kau tunjunkan.
Darimu aku belajar bagaimana menaklukan kehidupan…Dan…Aku bangga menjadi anakmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar