Kamis, Mei 24, 2012

Ada Udang di balik Peyek


Iwak peyek...iwak peyek...iwak peyek sego jagung.....

Lagu trio macan itu begitu terkenal. Sampai-sampai anak-anak kecil pun hapal dan menyanyikannya. Saya ternasuk penikmat peyek. Apalagi peyek Udang buatan ibu saya. Beliau dan istri saya tahu betul bagaimana saya kecanduan peyek udang ini. Sekilo udang yang dipeyek, mampu saya habiskan dalam sehari dengan atau tanpa nasi sekalipun. Sampai-sampai terkadang ibu saya harus menyembunyikan setoples peyek buatannya agar saya tidak menghabiskannya sendirian. Ini semua karena kedua anak saya pun mulai kecanduan peyek udang buatan ibu saya. Dan sudah pasti Ibu saya lebih mementingkan kedua anak saya daripada saya yang menurut beliau semakin gemuk karena tidak bisa mengontrol pola makan sehari-hari.

Belakangan saya tahu, udang sendiri sebenarnya harus dikurangi untuk di konsumsi. Terutama untuk seseorang yang memiliki kolestrol tinggi didalam tubuhnya. Bahkan menjaring informasi di internet, makan undang dan minum jeruk (vitamin C) dapat mengakibatkan keracunan dalam tubuh akibat timbulnya zat arsenik. Entah informasi ini akurat atau tidak, dan sudah terbukti melalui penelitian atau hanya sekedar “hoax” (informasi palsu). Tetapi jika memang benar, saya agak ngeri juga dengan peyek udang. Bahan bakunya saja yakni udang, sudah mengancam naiknya kolestrol. Apalagi di peyek (di goreng) dengan minyak, yang pasti juga berpotensi menaikan kolestrol. Wah......

Kesimpulannya, sesuatu yang terlihat dan terasa nikmat sebenarnya belum tentu baik dan aman. Entah siapa yang mengarang peribahasa “ ada udang di balik batu”. Yang pasti udang menjadi subject negatif didalam peribahasa itu. Dan sekarang saya lebih suka menyebutnya sebagai “ada udang di balik peyek”. Sesuatu yang sungguh terasa nikmat, namun ternyata berpotensi membawa sengsara...

Jaman sekarang, banyak hal yang terkesan seperti itu. Dimana mana nampak figur-figur pribadi yang nampak baik namun berhati buas. Mulutnya berkata-kata sesuatu hal yang baik. Namun hatinya, pikirannya bertolak belakang dengan manisnya kata-kata yang keluar dari bibir. Seringkali memproklamirkan kebaikan dan ketulusan, namun perbuatanya tak pernah lepas dari kejahatan,egoisme dan kemunafikan. Yang terparah adalah, banyak pribadi yang tampil baik bukan dilandasi ketulusan hati. Namun demi meraih sebuah popularitas ditengah-tengah sebuah komunitas. Perbuatan yang baik itu sengaja di tebar sebagai sebuah cara untuk menyampaikan pesona di hadapan orang-orang disekelilingnya. Keinginan untuk popular lebih utama dibandingkan ketulusan hati didalam melakukan sebuah perbuatan.

Syair lagu Peterpan yang dinyanyikan Ariel menggelitik batin kita.

Buka dulu topengmu...buka dulu topengmu
...biar kulihat wajahmu...biar kulihat warnamu”

Yah, kadang kita tak sadar bahwa seringkali kita hidup dengan topeng di wajah kita. Memoles segala sesuatunya agar nampak indah. Agar nampak sebuah profil pribadi yang sempurna. Namun ternyata itu adalah sebuah topeng. Yang ketika dibuka, munculah wajah bopeng.. Wajah dan Warna kita yang asli.

Teman,
Ada udang dibalik peyek...
Mari kita belajar membuang kepalsuan didalam hidup kita. Mari membentuk pribadi kita agar memiliki profil yang sebenarnya tanpa kepalsuan dan kemunafikan. Biarlah segala yang kita ucapkan,kita perbuat semuanya hanya untuk kebaikan umat Tuhan dan memuliakan Tuhan. Bukan agar diri kita popular dan di sanjung oleh sebuah komunitas dimana kita berada. Hanya diperlukan sebuah hati yang jernih dan bening untuk melakukan itu semua. Dan untuk memulainya, mari kita ingat baik-baik. Bahwa orang menilai kualitas pribadi kita, dari ketulusan perbuatan kita.
Bukan dari kemulusan kita didalam berbicara.

Ada udang dibalik peyek...
Biarlah hanya udang yang menjadi subject negatif....
Dan bukanlah kita....

Karena kita bukan Udang, yang otak dan pantatnya berdekatan...
Sampai-sampai ada anekdot, “ Dasar otak udang !”
Akh...lagi-lagi udang jadi subject yang negatif...

Surabaya, 24 Mei 2012

Rabu, Mei 23, 2012

Siapa Takut ?


Bacaan : Matius 14 : 22-36

Menjadi seorang pembalap mobil Formula 1, bukan hanya bermodalkan ketrampilan mengemudi mobil balap dan bisa ngebut melewati berbagi tikungan tajam dengan kecepatan hampir 300 km/jam. Tetapi juga harus memiliki keberanian dan kemampuan mengatasi rasa takut. Siapa yang tidak takut duduk dan berkendara dengan mobil melewati tikungan-tikungan tajam dengan kecepatan yang hampir sama dengan kecepatan sebuah pesawat. Salah sedikit atau kehilangan konsentrasi, dapat menimbulkan kecelakaan dan kematian.

Memiliki rasa takut adalah sebuah sisi kejiwaan seorang manusia. Dan itu bisa dipahami selama masih dalam taraf wajar dan tidak berlebihan. Beberapa orang memiliki rasa takut yang berlebihan dengan alasan yang sama sekali tidak wajar. Ketakutan itu menghantui mereka dan pada akhirnya dapat merusak kehidupan mereka akibat hilangnya kedamaian di dalam hati. Jika kondisi yang terjadi adalah demikian, maka sangat dibutuhkan bantuan orang lain yang memiliki keahlian untuk mengatasi dan mengendalikan ketakutan.

Pengalaman murid-murid Yesus yang mengalami ketakutan luar biasa akibat perahu yang mereka tumpangi terancam tenggelam akibat cuaca badai, mengingatkan kita bagaimana mengendalikan ketakutan bersama Yesus. Apapun yang menjadi alasan bagi kita untuk takut seharusnya bisa kita kendalikan ketika kita mengingat bahwa Yesus berkuasa atas segala hal. Bersama Dia dan melalui kehendakNya, maka badai dan topan yang menghalang akan berubah menjadi sebuah kedamaian. Kuncinya adalah menyerahkan diri dan percaya bahwa Tuhan mampu mendatangkan segala perkara yang mendatangkan kebaikan bagi kita.

Demikian juga mengatasi ketakutan yang terjadi di dalam diri kita terkait rasa tidak mampu dan rendah diri. Percayalah bahwa masing-masing manusia diciptakan unik dan berbeda dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Setiap manusia memiliki nilai dan keahlian masing-masing. Melalui sebuah kehidupan bersama dengan sesama, rasa saling melengkapi itu akan terjadi. Ini soal rasa percaya diri saja, dan bukan soal rasa takut. Mulai sekarang mari kita berani berkata," Siapa takut ?"

"Aku berani dan bisa. Siapa takut ?"