Senin, Juli 30, 2012

Saat "mupeng" Batik Indigo


Bacaan : Ulangan 11:13-14

Kata batik berdasarkan etimologis (asal muasal kata) nya, merupakan gabungan dari dua kata bahasa Jawa, yakni ‘amba’ yang bermakna menulis, dan ‘titik’ yang bermakna titik..Dalam artian sederhana, yang dimaksud dengan kata batik atau mbatik adalah melemparkan titik berkali-kali pada kain...

Saya memang pecinta berat Batik. Dan sekarang ini saya ‘mupeng” (memiliki keinginan berat untuk memiliki-bahasa gaul anak muda) kain Batik Indigo. Sebuah kain batik yang biasa disebut sebagai kain batik warna alam. Batik yang satu ini cukup mahal harganya. Pewarna yang digunakan merupakan pewarna alam dari daun tanaman bernama Indigo. Warna dominannya adalah Biru. Sebuah warna favorite saya sejak dahulu.

Proses pembuatan Batik Indigo cukup panjang dan rumit. Berawal dari daun pohon indigo yang direbus hingga mendidih, kemudian didiamkanm selama satu malam.Kemudian air rebusan daun tersebut dicampurkan dengan kapur. Air dan kapur tersebut kemudian diuleni hingga rata, hingga terlihat seperti adonan yang agak encer. Setelah itu adonan indigo dimasukkan ke dalam wadah tertutup, dan diperam dalam tanah (dikubur) hingga 6 bulan. Setelah masa ‘karantina’ yang panjang itu, indigo dikeluarkan dan penampilannya sudah terlihat mengental, seperti pasta, siap untuk digunakan. Prosese panjang itu belum selesai. Oleh para pewarna batik, indigo masih membutuhkan perlakukan istimewa. Jika bahan pewarna lain bisa segera digunakan dalam air rebusan. Maka ketika menggunakan indigo, para perajin harus menggodog (merebus) indigo dengan gula jawa (gula merah, red) selama 1 malam. Proses ini dilakukan untuk menguatkan warna biru yang kelak akan dihasilkan oleh indigo. Karena itulah Batik Indigo memiliki harga yang cukup mahal. Bukan hanya karena teksture nya yang alami, namun pewarnaannya juga sangat elegance dan terlihat menawan dengan warna biru nya. Saat menulis catatan ini, saya merasa keinginan saya untuk memiliki batik yang satu ini semakin tak tertahankan.

Saat istirahat siang ini, saya merenung dan mengingat-ingat, Betapa panjang dan rumit proses membatik. Berawal dari sembuah kain putih, kemudian diberikan gambar dan aneka warna oleh sang pembatik. Ada warna hitam, ada warna putih, ada warna cerah dan ada warna gelap. Semua terkombinasikan begitu indah. Ketika proses memberikan gambar dan warna itu selesai. Masih ada proses yang tak kalah hebat. Yakni mencucinya dengan air panas. Agar warna itu terbenam dengan sempurna di atas kain.

Saya kembali merenung, kali ini tentang perjalananan kehidupan kita sebagai manusia. Terlahir kedunia ini tanpa bisa memilih menjadi kaya atau miskin. Bahkan tanpa bisa memilih sebagai pribadi yang menarik dengan kegagahan dan kecantikan atau sebagai pribadi yang memiliki kekurangan fisik. Kita hadir di dunia ini bagaikan” kain” besar (amba) yang bewarna putih. Lalu dengan proses yang panjang, oleh “Sang Pembatik” kain itu di berikan gambar dengan warna-warna yang sesuai dengan kehendaknya. Ada warna hitam yang kita ingat sebagai kegagalan. Ada warna cerah ketika kita merasakan keberhasilan, Ada warna biru ketika kita menikmati kelegaan. Ada begitu banyak warna dan gambar kehidupan yang tertulis di sejarah perjalanan kehidupan kita. Hal itupun belum tentu cukup, karena terkadang kita merasa sedang berada di sebuah tungku kehidupan yang panas. Yang direndam oleh panas nya api kehidupan dunia ini.

Apa yang bisa kita katakana tentang ini semua ? Apakah kita bsia memilih untuk menjadi sebuah kain putih besar tanpa makna ? atau menjadi kain batik yang penuh gambar dan warna, yang dihasilkan oleh sepasang tangan SANG PEMBATIK. Sebuah kain yang memiliki harga sangat mahal. Walau proses nya terasa panjang dan menyakitkan. Mari kita renungkan sejenak tentang pilihan ini. Semoga diantara kita tidak ada yang memilih hanya menjadi kain putih polos saja. Karena tentu jenis kain ini tidak memiliki harga sama sekali.

Mari menyerahkan diri kita kepada Sang Pembatik kehidupan. Pasrah dan manut (setia mengikuti) saja terhadap apa yang menjadi kehendak dan kreasiNya. Karena hanya di tangan Dia kita akan memiliki harga yang mahal.


Ya…semahal kain batik Indigo yang saya idam-idamkan. Gambarnya, Birunya, Kelembutan warnanya….Akh… Batik Indigo. Ijinkan aku memilikimu…

Catatan kecil untuk Rumah Batik-KOE

Selasa, Juli 17, 2012

Belajar dari Ibu


Terkadang saya tak habis pikir mengingat masa lalu Ibu saya. Kala itu di sekitar tahun 1965, beliau tegar untuk  menginggalkan orang tua dan tanah kelahirannya untuk memasuki kehidupan baru di Pulau Jawa. Jarak sekitar  700 km di tempuh dari Bali ke Semarang  demi sebuah tantangan kehidupan yang baru. Selepas lulus SMP, ibu saya memberanikan diri pergi ke sekolah jawa, tepat nya di sekolah kebidanan Panti Wilasa Semarang.

Sampai hari ini pula, saya tak pernah mendapatkan jawaban pasti. Apakah yang mendorong Pekak dan Nini (kakek dan nenek) saya kala itu. Sehingga beliau berdua mengijinkan anak perempuannya yang masih ABG untuk merantau ke pulau jawa.  Saat itu sudah pasti sarana transportasi dan telekomunikasi  tidak seperti sekarang yang sudah canggih dan serba cepat. Mungkin hanya sepucuk surat atau telegram yang dapat di pakai untuk berbagi berita kepada keluarga. Apakah pekak dan nini tidak pernah kuatir kehilangan anak gadisnya di pulau jawa ? Sayang sampai beliau berdua meninggal belasan tahun yang lalu, saya tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti atas hal itu

Yang pasti saya sekarang berpikir dan merasakan bahwa Ibu saya adalah sosok yang tegar. Dan itu bukan terjadi dalam waktu yang singkat dan mudah. Namun melalui proses panjang, sejak 47 tahun yang lalu. Ada banyak proses kehidupan yang beliau hadapi dengan ketegaran dan sikap mental yang positif. Sekitar 7 tahun yang lalu beliau di vonis menderita kanker rahim. Saat itu beliau sempat menangis, tetapi dengan tegar beliau menghadapi penyakit itu. Perjuangannya mengalahkan kanker membawa hasil yang luar biasa. Sampai saat ini dokter yang merawat menyatakan sudah tidak terlihat ancaman kanker didalam tubuh Ibu. Puji Tuhan !

Setahun kemudian, kesabaran beliau di uji. Ketika bapak saya harus menjalani cuci darah akibat gagal ginjal. Hampir dua minggu sekali, beliau berdua pergi ke RS Dr Soetomo untuk menjalani proses cuci darah. Bagi anda yang belum pernah masuk ke ruang cuci darah RS Dr Soetomo, mungkin sulit anda bayangkan. Puluhan pasien berbaring di sisi mesin pencuci darah. Terlihat selang berwarna merah segar yang di tancapkan di tangan para pasien. Belum lagi aroma ruangan yang terasa sedikit berbeda dengan ruangan perawatan pasien lainnya. Mungkin karena obat atau cairan yang dipakai untuk mencuci darah. Yang pasti sampai sekarang saya tidak bisa lupa bau nya yang sedikit menyengat itu. Sepanjang menemani Bapak menjalani proses cuci darah itu, Ibu ikut merawat dan membantu paramedis di Ruangan Cuci Darah. Jiwa penolong nya tidak bisa berhenti melihat kondisi ruangan saat itu. Dengan perjuangan dan kesetiaan, beliau menemani Bapak sampai 2 tahun kemudian. Saat Bapak di panggil pulang kembali kerumah Bapa di Sorga.

Selain tegar, Ibu saya juga selalu berusaha bersikap mandiri. Pernah beliau memaksa diri untuk belajar mengendarai  roda 4. Waktu itu beliau belajar nyetir Karimun. Setiap pagi dengan setia Bapak mendampingi Ibu untuk belajar mengemudi. Sayang sebuah kecelakaan lalu lintas membuat Ibu trauma untuk belajar lagi. Dan mobil karimun hitam milik kami, terpaksa kami jual karena sudah terlanjur cacat body. Namun toh demikian setidaknya beliau masih bisa mengendarai motor. Walau saya terus mengingatkan agar berhati-hati mengendarai roda dua mengingat lalu lintas Surabaya yang selalu padat.

Tantangan yang baru saja di lewati Ibu saya adalah berstudy lagi. Sesuai aturan pemerintah, seorang bidan hanya diijinkan praktek swasta bila sudah memiliki standart ketrampilan khusus dan berlatar belakang pendidikan diploma kebidanan. Saya sebenarnya sudah meminta beliau untuk beristirahat dan tidak perlu memaksa diri. Tetapi saya kagum dengan semangat beliau untuk mengikuti perkuliahan. Setiap hari senin-jumat dari siang sampai sore beliau belajar bersama teman-teman bidan lainnya. Dan hari Rabu 11 Juli 2012  kemarin beliau harus berhadapan dengan para dosen pengajarnya untuk mempertahankan Karya Tulis Ilmiah nya. Hari selasa malam beliau mengaku tidak bisa tidur. Saya pun demikian, tetap bukan karena memikirkan Ibu. Tetapi karena hari Rabu itu juga saya harus meeting dengan Direksi. Yang pasti saat itu saya dan Ibu sama sama Galau. Yang membanggakan saya adalah, hasil yang di raih ibu untuk karya Tulis Ilmiah itu. Atas karyanya, para dosen penguji memberikan nilai A. Saya hanya berteriak dalam hati, “ LUAR BIASA !”

Sekarang, di masa pensiun nya beliau tetap berkarya. Adalah BKKBN Surabaya yang mengajak Ibu untuk melayani sesama didalam program Keluarga Berencana. Setiap hari senin-jumat  beliau harus melayani klinik yang di buat BKKBN. Beliau menerima ajakan ini bukan semata-mata untuk mendapatkan kesibukan apalagi mendapatkan gajinya. Yang membuat saya bangga adalah beliau hanya ingin melayani sesama nya lewat ilmu yang dimilikinya.
Sebagai anak,tentu saya tidak bisa hanya bangga. Tetapi sekarang saya sadar, bahwa saya harus meneladani keteguhannya. Saya harus belajar bagaimana menghadapi tantangan kehidupan. Dengan bahasa lain saya harus belajar kepada beliau, bagaimana menaklukan kehidupan. Saya merasa beruntung memiliki dia. Dengan segala kelebihan dan juga kekurangannya. Satu hal yang menjadi kekurangan terbesar nya adalah sikap keras kepala nya didalam memegang prinsip. Dan untuk yang satu ini, terkadang adik saya menangis dan merasa lelah menghadapinya.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada super woman di kehidupan nyata. Tetapi keteguhan dan pola pikir yang positif itulah yang harus kita teladani. Tak ada yang tak bisa bila kita mau melakukan nya dengan kesungguhan dan keuletan.

Ibu, terima kasih untuk keteladanan yang kau tunjunkan. Darimu aku belajar bagaimana menaklukan kehidupan…Dan…Aku bangga menjadi anakmu