Kamis, November 01, 2012

MANAGER IDAMAN


Siapa yang tidak bangga bila memiliki jabatan Manager ? Banyak orang yang berjuang,berambisi untuk memiliki jabatan manager ini. Walau untuk memilikinya di butuhkan perjuangan yang panjang dan berliku-liku.Bagi sebagian kalangan,  Jabatan manager adalah jabatan yang keren dan perlente. Karena dengan jabatan manager, seseorang akan  memiliki anak buah dan berhak melakukan aksi “komando” yang harus di patuhi dan dilakukan oleh para anak buahnya.
Menjadi seorang manager tentu diperlukan sebuah kualifikasi khusus. Yang menjadi syarat utama adalah memiliki jiwa kepemimpinan. Seorang manager yang baik, diharapkan memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Oleh karena itu, berbagai tes assessment yang di pergunakan untuk menyeleksi para manager, menempatkan ketrampilan memimpin/leadership sebagai nilai terbesar yang harus diraih oleh para calon manager.
Tugas utama Manager adalah memimpin sebuah tim, membuat keputusan yang strategis dan melakukan penyelesaian atas sebuah permasalahan. Inilah tiga hal utama yang menjadi tugas utama seorang manager. Walau hanya tiga tugas utama, tapi ketiga hal ini bukanlah hal yang mudah. Oleh karenanya dalam sebuah perusahaan, seorang manager biasanya diberikan tunjangan khusus. Pendapatannya diatas rata-rata pendapatan pekerja lain. Mungkin ini yang dirasakan sebagaian orang sebagai  nikmatnya menjadi seorang manager.
Padahal sejujurnya, menurut saya menjadi manager itu tidak enak. Mengapa tidak enak ? Karena bagi saya menjadi manager itu adalah sebuah “jabatan tanggung” . Menjadi tanggung karena posisi nya ada di tengah-tengah. Dibawah General Manager dan Direktur, namun diatas para pelaksana dan supervisor. Nah karena posisi nya di tengah ini yang terkadang  terasa sangat  menyiksa dan menyebalkan. Kata pak Dahlan Iskan (Meneg BUMN) ibaratnya “kena petir dari langit, kena bara dari bawah”.  Setiap saat bisa kena makian para direktur, namun setiap saat juga  harus siap menghadapi bawahan yang mendemo kita. Dalam membuat keputusan juga demikian. Sedikit saja kita condong ke atas, maka harus siap untuk mendapat hujatan dari bawah. Sebaliknya, jika terlalu condong kebawah, siap siap saja untuk di semprot dan dimaki-maki oleh para atasan.
Kalau sudah begitu keadaannya, maka untuk menjadi seorang manager bukan hanya diperlukan kepandaian. Tetapi juga pribadi yang tegar,teguh dan berani mengambil sikap. Pribadi yang memiliki prinsip dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang dibuatnya. Tentu saja dengan kesiapan untuk menanggung segala resiko yang akan terjadi, di puji atau dipecat sekalipun. Dengan gambaran seperti itulah, bagi saya menjadi seorang manager tidak selamanya enak dan nyaman.  Namun terkadang juga terasa menyiksa.
Sadar atau tidak, menjadi anggota majelis jemaat sebenarnya adalah menjadi manager jemaat. Posisinya persis di tengah-tengah. Diantara Tuhan dan Jemaat. Sebagai manager jemaat (khususnya di GKJW)  kita juga dituntut cakap dalam merancang kebijakan-kebijakan yang menyangkut kehidupan berjemaat. Lalu menuangkan segala rancangan kebijakan itu didalam Program Kerja Tahunan (PKT) . Beberapa diantara anggota majelis jemaat itu juga harus mengadakan rapat rutin mingguan, yang kita sebut sebagai Rapat PHMJ (Pelayan Harian Majelis Jemaat). Didalam rapat itu dibahas berbagai macam hal. Ada pembahasan keuangan jemaat, pembahasan program kegiatan, sampai pada pembahasan tentang problematika kehidupan warga jemaat. Rapat itu begitu serunya, sampai-sampai tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Tak terasa pula bahwa malam semakin larut, bahkan hampir menjelang dinihari.
Lalu apakah semua keputusan yang diambil para manager jemaat itu selalu memuaskan ? Walaupun pembahasan sudah sampai larut malam, namun harus jujur diakui bahwa tidak semua keputusan yang terambil mampu memuaskan semua pihak. Kalo keputusan kita mementingkan aspek Theologis (BACA : cenderung keatas / Tuhan) biasanya aka nada kekecewaan di kalangan jemaat. Tapi kalo keputusan itu sedikit mengurangi aspek Theologis, biasanya  para manager itu sendiri yang ragu. Jangan-jangan nanti mengecewakan Yang Diatas / Tuhan. Kalo mengecewakan Tuhan, akh…takut akh.
Semua kenyataan itu terkadang membuat para manager jemaat merasa dilema. Sering merasa maju kena mundur kena. Celakanya yang paling sering dihadapi adalah sindiran dan kritik dari bawah  / jemaat terkait kinerja pelayanan. Padahal para manager itu sudah merasa melakukan yang terbaik dan mempertimbangkan segala  kepentingan. Beberapa orang mananger menghadapinya dengan menangis dan keluh kesah. Namun ada juga yang menghadapinya dengan santai dan sedikit cuek. Yang lebih lucu lagi ada yang menghadapinya dengan bebal dan mengatakan, “ Dulu, siapa suruh pilih saya ?”
Bagi saya, kesimpulannya adalah : menjadi manager jemaat maupun manager perusahaan adalah sama. Yakni sama sama dibutuhkan pribadi yang tegar,teguh dan berani mengambil sikap. Ketiga sikap pribadi itu akan makin sempurna bila dilengkapi sikap ke-4 yakni “Memiliki Ketulusan”. Siapa yang tidak bangga bila didalam sebuah kehidupan berjemaat, memiliki profil/pribadi manager yang Tegar,Teguh,Berani dan Tulus ? Yakni Manager  yang bersikap :
1.       Tegar ketika kehidupan berjemaat sedang dilanda keprihatinan. Figurnya berada di depan ketika jemaat sedang mengalami pergumuluan. Menunjukan ketegaran dan kerelaan berkorban bagi jemaat.
2.       Teguh dan tak kenal lelah didalam memperjuangkan cita-cita kehidupan berjemaat.  Selalu yakin dan optimis dalam melakukan segala kegiatan berjemaat.
3.        Berani berdiri di depan untuk  memimpin dan mengarahkan jemaat.  Termasuk berani mengambil resiko demi kebaikan jemaat. Walaupun resikonya adalah harus terbentur konflik dengan sesama pelayan yang belum se visi.
4.       Tulus melakukan segala sesuatunya tanpa mencari popularitas pribadi. Semua hanya demi kemuliaan Tuhan. Semua demi kemahsyuran Tuhan saja.
Semua sikap diatas sebenarnya meneladani kepemimpinan Kristus yang melayani.  Kristus begitu tegar ketika harus diperhadapkan pada pengkhianatan Yudas Iskariot. Tak pernah ada rasa amarah atas pengkhianatan itu. Kristus begitu teguh mengemban amanat Agung untuk menyelamatkan manusia. Walau untuk itu diperlukan pengorbanan yang luar biasa. Kristus begitu berani, ketika harus menghadapi penghakiman kayu salib atas kesalahan yang sebenarnya tidak Dia lakukan. Dan, Kristus begitu tulus menerima cambuk, hujatan bahkan teriakan yang mengolok-olok Dia sebagai “Raja orang yahudi” yang tidak pernah bisa menyelamatkan diriNya sendiri. Semua Dia lakukan karena posisiNya di tengah-tengah antara manusia dan Tuhan.
Bagi saya, itulah profile manager yang ideal. Dan bila sekarang kepada kita diberikan kesempatan untuk menjadi manager. Semoga kita juga di mampukan untuk menjadi seorang manager yang ideal. Yang memiliki ke empat gaya tersebut diatas.  Semua bukan demi pujian dan penghormatan atas apa yang telah kita lakukan. Namun semua karena kita ingin memuliakan Tuhan yang telah memberikan begitu banyak kemurahan didalam kehidupan kita

Selasa, Agustus 28, 2012

Menjadi Pejantan Tangguh (Belajar dari Bapak)

Masa mudanya liar. Jarang di rumah dan berkelana di jalanan bagaikan anak jalanan. Hidupnya  sebagai anggota geng motor, menjadikannya memiliki banyak teman. Rally motor, kirab motor gede menjadi bagian dari hidup nya di masa muda. Saya melihat itu semua didalam album masa muda Bapak saya. Semua album foto hitam putih yang  kini sudah mulai berjamur itu menjadi saksi, betapa gaul masa muda bapak saya.
Terlahir sebagai anak sulung di sebuah dusun kecil, bernama dempelan madiun pada 74 tahun silam. Ayahnya (yang sekaligus juga kakek saya) adalah seorang mandor PERHUTANI bernama Tukiman. Sebagai sulung dari 8 bersaudara kehidupan keluarga bapak sebenarnya cukup mapan. Terbukti dengan  rumah Kakek yang berada tepat di tengah kota madiun. Namun rupanya Kakek saya saat itu adalah seorang yang demokratis. Sehingga memberikan kebebasan setiap anak-anaknya didalam berjuang menjalani kehidupan.
Dimasa mudanya, ayah saya jatuh cinta terhadap seorang gadis bali berambut panjang. Pertemuan  itu terjadi di kota semarang, tepatnya di asrama bidan RS Panti Wilasa. Pertemuan itu terjadi dengan latar belakang yang unik. Dimana masing-masing pihak baru saja mengalami putus cinta dengan pacar masing-masing. Cinta akhirnya mempersatukan mereka. Dan pada akhirnya bapak saya, SOEHARTO menikah dengan Ni MADE RAWI (yang sudah pasti pada akhirnya menjadi ibu saya) didalam sebuah upacara pemberkatan Nikah di GKPB Bali 10 Februari 1974. Di saat itu pula, Bapak menerima Sakramen Baptis Suci sebagai tanda meterai keselamatan oleh karya Kristus.
Kedua pasangan pengantin baru ini benar-benar bonek. Setelah menikah, berbekal pakaian dalam koper mereka meninggalkan Bali menuju Surabaya. Saya tak pernah tahu alasannya mengapa mereka memilih Surabaya. Yang pasti kehidupan mereka tidak mudah. Saya terlahir di sebuah RSB Nias Surabaya dan kemudia di besarkan didalam sepetak kamar kontrakan di jalan manyar Surabaya.  Situasinya benar-benar sulit saat itu. Bapak mencari nafkah sebagai pemborong bangunan. Sementara ibu saya menjadi tenaga medis di RSB Pura Raharja Surabaya.  Pendapatan kedua orang tua saya hanya cukup untuk bayar kontrakan kamar dan makan sehari-hari. Yang luar biasa mereka juga masih di titipi adik-adiknya yang mencoba merantau ke Surabaya, mengadu nasib. Jangankan membelikan saya baju baru. Membeli sepasang kaos kaki saja, sulitnya bukan main. Maka ketika kaos kaki saya jatuh ke sumur saat di cuci. Ibu saya menangis histeris karena kehilangan sebuah kaos kaki.
Perjuangan bapak cukup berat. Setelah tidak ada order sebagai pemborong bangunan. Beliau mencoba berbisnis jual beli mobil dan jual beli rumah. Istilah keren beliau saat itu, kerja sebagai “pengacara” alias pengangguran tapi banyak acara. Kegiatannya cukup padat, sehingga kadang-kadang menjemput saya pulang sekolahpun terlambat. Dan sayapun menangis, walau hanya gara-gara terlambat di jemput oleh bapak. Kalau sudah begitu, Bapak pasti marah. Sepeda motor vespa dilarikan kencang, dan saya diturunkan di areal pemakaman manyar. Sudah pasti tangis saya makin kencang saat itu.
Kehidupan perekonomian kami mulai membaik ketika ibu saya bekerja rangkap sebagai assisten dokter spesialis anak. Bapak saya dengan setia mengantar jemput ibu saat berangkat dan pulang kerja. Dari keringat beliau, kami bisa membeli sebuah mobil Daihatsu “ceketer” yang saat itu harganya Rp 1.750.000,-. Bapak segera mulai belajar nyetir. Saya ingat saat itu beliau belajar nyopir bersama seorang sahabat karibnya bernama “om rawi”, seorang sopir bemo di terminal bratang. Saya dan adik saya yang lahir 5 tahun kemudian bahagia karena setiap malam minggu, bapak dan ibu mengajak saya jalan-jalan ke pasar pucang.
Kehidupan yang lebih baik  makin kami rasakan sejakn pertengahan tahun 80 an. Ibu  diterima sebagai PNS dan bapak makin laris manis jual beli mobilnya. Dari sebuah rumah di nginden kota II/56C kami pindah ke Nginden Baru IV/28. Di rumah ini bapak mengajak “mbah kromo”, seorang budhe nya untuk membuka depot/warung di halaman depan rumah. Aneka makanan di sajikan dan cukup laris karena daerah nginden baru adalah daerah kost-kostan mahasiswa untag,unitomo dan perbanas. Tak cukup hanya itu, 3 kamar di rumah di sewakan oleh bapak untuk kost mahasiswa. Semua demi menambah penghasilan keluarga kami.
Akhirya, berkat Tuhan membawa kami ke sebuah rumah baru di nginden intan timur XI/5. Di tempat inilah kami semakin merasakan betapa luar biasanya berkat Tuhan. Ibu menerima surat ijin praktek bidan dari Dinkes Surabaya. Sehingga rumah kami dipakai untuk praktek dan menolong persalinan. Saya pernah mencatat, dalam sebulan pernah pecah rekor 30 orang melahirkan. Artinya hampir tiap hari ada yang melahirkan dirumah. Sudah pasti karena kemurahan Tuhan ini, kami memiliki kehidupan yang lebih matang. Dan bapak, tetap setia dengan bisnis dan kegiatan “pengacara”nya. Saya ingat, dalam sebulan pernah terjual 5 unit mobil dengan keuntungan yang luar biasa. Kami menikmatinya dengan makan bersama makanan chiness food di kaki lima jalan nias. Sebuah tempat yang sudah sungguh sangat mewah kala itu bagi kami.
Di masa tuanya, bapak tetap eksis dan gaul. Banyak korban sayang dan isengnya. Salah satunya adalah Pyo. Seorang kerabat yang sangat disayanginya. Begitu sayangnya bapak, sampai-sampai setiap badannya merasa pegal, bapak hanya mau di pijat oleh Pyo. Terhadap keponakannya, juga begitu. Nano yang ganteng di panggilnya ambon gara-gara kulitnya yang hitam. Lucunya, nano tak pernah protes. Hanya berani nyengir saat dipanggil ambon oleh bapak.  Lain cerita soal widya teman adik saya. Hampir setiap main kerumah nginden, sandalnya hilang. Karena di sembunyikan oleh bapak. Mau marah tak berani, sehingga dia hanya teriak,”Om….dimana sandalku ???”
Semua keusilan itu mulai luntur ketika usia 67 tahun, bapak di vonis gagal ginjal. Seminggu dua kali beliau harus cuci darah di RS Dr Soetomo. Namun toh demikian, setiap berangkat cuci darah. Beliau masih mampu setir mobil sendiri. Ketika seorang tetangga bertanya,”mau kemana pakdhe?”Bapak hanya menjawab,”Kuliah !” Ibu saya hanya bisa tersenyum melihat itu semua.
Menjelang ajal tiba. Di usia ke-70, Bapak masih sanggup berjalan kaki menuju RS Husada Utama. Bahkan turun dari mobil menuju IRD, beliau tidak mau dibantu dengan kursi roda sekalipun. Dalam penanganan tim dokter yang hanya selama 2,5 jam. Bapak pulang menghadap Bapak di sorga dengan senyum termanis. Disaat duka,lagi-lagi kami dibuat tersenyum lucua. Karena kunci rumah ada di saku celana bapak saat itu. Sehingga kami terpaksa merogoh celana yang dikenakan bapak saat meninggal, hanya untuk mencari kunci rumah.
Dari beliau saya belajar bagaimana setia dan teguh dalam berjuang menjalani hidup. Dari beliau juga saya belajar bagaimana menjalani hidup dengan senyuman. Dari beliau juga saya belajar bagaimana hidup rendah hati dan bersahaja. Yang lebih penting dari itu semua, bagaimana hidup bersanding dengan mesra dengan begitu banyak teman.
Bapak meninggalkan kami dengan berjuta kenangan manis. Kasih sayangnya kami simpan sebagai harta warisan yang mahal harganya. Walau saat meninggalkan kami, tak ada rekening tabungan apalagi deposito atas nama beliau. Hanya sebuah dompet yang didalam nya hanya ada foto Ibu saya di masa muda. Dan…. uang sejumlah Rp 120.000,- (seratus dua puluh ribu rupiah). Itulah yang menjadi harta peninggalan bapak. Tapi bagi kami, harta itu sudah sangat luar biasa. Karena jika kami renungkan, bapak mengajarkan kepada kami untuk hidup tidak berpaku pada harta duniawi saja.
Saya terus mengenang senyum manisnya. Saya juga terus mengenang gayanya sebagai pejantan tangguh dalam kehidupan. Dan kini hanya sebuah makam dan foto yang menjadi teman ketika saya rindu pada senyum manis. Ketika saya rindu pada sifat gokil nya…

Surabaya 28 Agustus 2012
Tombo kangen dumateng alm bapak soeharto…

Senin, Juli 30, 2012

Saat "mupeng" Batik Indigo


Bacaan : Ulangan 11:13-14

Kata batik berdasarkan etimologis (asal muasal kata) nya, merupakan gabungan dari dua kata bahasa Jawa, yakni ‘amba’ yang bermakna menulis, dan ‘titik’ yang bermakna titik..Dalam artian sederhana, yang dimaksud dengan kata batik atau mbatik adalah melemparkan titik berkali-kali pada kain...

Saya memang pecinta berat Batik. Dan sekarang ini saya ‘mupeng” (memiliki keinginan berat untuk memiliki-bahasa gaul anak muda) kain Batik Indigo. Sebuah kain batik yang biasa disebut sebagai kain batik warna alam. Batik yang satu ini cukup mahal harganya. Pewarna yang digunakan merupakan pewarna alam dari daun tanaman bernama Indigo. Warna dominannya adalah Biru. Sebuah warna favorite saya sejak dahulu.

Proses pembuatan Batik Indigo cukup panjang dan rumit. Berawal dari daun pohon indigo yang direbus hingga mendidih, kemudian didiamkanm selama satu malam.Kemudian air rebusan daun tersebut dicampurkan dengan kapur. Air dan kapur tersebut kemudian diuleni hingga rata, hingga terlihat seperti adonan yang agak encer. Setelah itu adonan indigo dimasukkan ke dalam wadah tertutup, dan diperam dalam tanah (dikubur) hingga 6 bulan. Setelah masa ‘karantina’ yang panjang itu, indigo dikeluarkan dan penampilannya sudah terlihat mengental, seperti pasta, siap untuk digunakan. Prosese panjang itu belum selesai. Oleh para pewarna batik, indigo masih membutuhkan perlakukan istimewa. Jika bahan pewarna lain bisa segera digunakan dalam air rebusan. Maka ketika menggunakan indigo, para perajin harus menggodog (merebus) indigo dengan gula jawa (gula merah, red) selama 1 malam. Proses ini dilakukan untuk menguatkan warna biru yang kelak akan dihasilkan oleh indigo. Karena itulah Batik Indigo memiliki harga yang cukup mahal. Bukan hanya karena teksture nya yang alami, namun pewarnaannya juga sangat elegance dan terlihat menawan dengan warna biru nya. Saat menulis catatan ini, saya merasa keinginan saya untuk memiliki batik yang satu ini semakin tak tertahankan.

Saat istirahat siang ini, saya merenung dan mengingat-ingat, Betapa panjang dan rumit proses membatik. Berawal dari sembuah kain putih, kemudian diberikan gambar dan aneka warna oleh sang pembatik. Ada warna hitam, ada warna putih, ada warna cerah dan ada warna gelap. Semua terkombinasikan begitu indah. Ketika proses memberikan gambar dan warna itu selesai. Masih ada proses yang tak kalah hebat. Yakni mencucinya dengan air panas. Agar warna itu terbenam dengan sempurna di atas kain.

Saya kembali merenung, kali ini tentang perjalananan kehidupan kita sebagai manusia. Terlahir kedunia ini tanpa bisa memilih menjadi kaya atau miskin. Bahkan tanpa bisa memilih sebagai pribadi yang menarik dengan kegagahan dan kecantikan atau sebagai pribadi yang memiliki kekurangan fisik. Kita hadir di dunia ini bagaikan” kain” besar (amba) yang bewarna putih. Lalu dengan proses yang panjang, oleh “Sang Pembatik” kain itu di berikan gambar dengan warna-warna yang sesuai dengan kehendaknya. Ada warna hitam yang kita ingat sebagai kegagalan. Ada warna cerah ketika kita merasakan keberhasilan, Ada warna biru ketika kita menikmati kelegaan. Ada begitu banyak warna dan gambar kehidupan yang tertulis di sejarah perjalanan kehidupan kita. Hal itupun belum tentu cukup, karena terkadang kita merasa sedang berada di sebuah tungku kehidupan yang panas. Yang direndam oleh panas nya api kehidupan dunia ini.

Apa yang bisa kita katakana tentang ini semua ? Apakah kita bsia memilih untuk menjadi sebuah kain putih besar tanpa makna ? atau menjadi kain batik yang penuh gambar dan warna, yang dihasilkan oleh sepasang tangan SANG PEMBATIK. Sebuah kain yang memiliki harga sangat mahal. Walau proses nya terasa panjang dan menyakitkan. Mari kita renungkan sejenak tentang pilihan ini. Semoga diantara kita tidak ada yang memilih hanya menjadi kain putih polos saja. Karena tentu jenis kain ini tidak memiliki harga sama sekali.

Mari menyerahkan diri kita kepada Sang Pembatik kehidupan. Pasrah dan manut (setia mengikuti) saja terhadap apa yang menjadi kehendak dan kreasiNya. Karena hanya di tangan Dia kita akan memiliki harga yang mahal.


Ya…semahal kain batik Indigo yang saya idam-idamkan. Gambarnya, Birunya, Kelembutan warnanya….Akh… Batik Indigo. Ijinkan aku memilikimu…

Catatan kecil untuk Rumah Batik-KOE

Selasa, Juli 17, 2012

Belajar dari Ibu


Terkadang saya tak habis pikir mengingat masa lalu Ibu saya. Kala itu di sekitar tahun 1965, beliau tegar untuk  menginggalkan orang tua dan tanah kelahirannya untuk memasuki kehidupan baru di Pulau Jawa. Jarak sekitar  700 km di tempuh dari Bali ke Semarang  demi sebuah tantangan kehidupan yang baru. Selepas lulus SMP, ibu saya memberanikan diri pergi ke sekolah jawa, tepat nya di sekolah kebidanan Panti Wilasa Semarang.

Sampai hari ini pula, saya tak pernah mendapatkan jawaban pasti. Apakah yang mendorong Pekak dan Nini (kakek dan nenek) saya kala itu. Sehingga beliau berdua mengijinkan anak perempuannya yang masih ABG untuk merantau ke pulau jawa.  Saat itu sudah pasti sarana transportasi dan telekomunikasi  tidak seperti sekarang yang sudah canggih dan serba cepat. Mungkin hanya sepucuk surat atau telegram yang dapat di pakai untuk berbagi berita kepada keluarga. Apakah pekak dan nini tidak pernah kuatir kehilangan anak gadisnya di pulau jawa ? Sayang sampai beliau berdua meninggal belasan tahun yang lalu, saya tak pernah mendapatkan jawaban yang pasti atas hal itu

Yang pasti saya sekarang berpikir dan merasakan bahwa Ibu saya adalah sosok yang tegar. Dan itu bukan terjadi dalam waktu yang singkat dan mudah. Namun melalui proses panjang, sejak 47 tahun yang lalu. Ada banyak proses kehidupan yang beliau hadapi dengan ketegaran dan sikap mental yang positif. Sekitar 7 tahun yang lalu beliau di vonis menderita kanker rahim. Saat itu beliau sempat menangis, tetapi dengan tegar beliau menghadapi penyakit itu. Perjuangannya mengalahkan kanker membawa hasil yang luar biasa. Sampai saat ini dokter yang merawat menyatakan sudah tidak terlihat ancaman kanker didalam tubuh Ibu. Puji Tuhan !

Setahun kemudian, kesabaran beliau di uji. Ketika bapak saya harus menjalani cuci darah akibat gagal ginjal. Hampir dua minggu sekali, beliau berdua pergi ke RS Dr Soetomo untuk menjalani proses cuci darah. Bagi anda yang belum pernah masuk ke ruang cuci darah RS Dr Soetomo, mungkin sulit anda bayangkan. Puluhan pasien berbaring di sisi mesin pencuci darah. Terlihat selang berwarna merah segar yang di tancapkan di tangan para pasien. Belum lagi aroma ruangan yang terasa sedikit berbeda dengan ruangan perawatan pasien lainnya. Mungkin karena obat atau cairan yang dipakai untuk mencuci darah. Yang pasti sampai sekarang saya tidak bisa lupa bau nya yang sedikit menyengat itu. Sepanjang menemani Bapak menjalani proses cuci darah itu, Ibu ikut merawat dan membantu paramedis di Ruangan Cuci Darah. Jiwa penolong nya tidak bisa berhenti melihat kondisi ruangan saat itu. Dengan perjuangan dan kesetiaan, beliau menemani Bapak sampai 2 tahun kemudian. Saat Bapak di panggil pulang kembali kerumah Bapa di Sorga.

Selain tegar, Ibu saya juga selalu berusaha bersikap mandiri. Pernah beliau memaksa diri untuk belajar mengendarai  roda 4. Waktu itu beliau belajar nyetir Karimun. Setiap pagi dengan setia Bapak mendampingi Ibu untuk belajar mengemudi. Sayang sebuah kecelakaan lalu lintas membuat Ibu trauma untuk belajar lagi. Dan mobil karimun hitam milik kami, terpaksa kami jual karena sudah terlanjur cacat body. Namun toh demikian setidaknya beliau masih bisa mengendarai motor. Walau saya terus mengingatkan agar berhati-hati mengendarai roda dua mengingat lalu lintas Surabaya yang selalu padat.

Tantangan yang baru saja di lewati Ibu saya adalah berstudy lagi. Sesuai aturan pemerintah, seorang bidan hanya diijinkan praktek swasta bila sudah memiliki standart ketrampilan khusus dan berlatar belakang pendidikan diploma kebidanan. Saya sebenarnya sudah meminta beliau untuk beristirahat dan tidak perlu memaksa diri. Tetapi saya kagum dengan semangat beliau untuk mengikuti perkuliahan. Setiap hari senin-jumat dari siang sampai sore beliau belajar bersama teman-teman bidan lainnya. Dan hari Rabu 11 Juli 2012  kemarin beliau harus berhadapan dengan para dosen pengajarnya untuk mempertahankan Karya Tulis Ilmiah nya. Hari selasa malam beliau mengaku tidak bisa tidur. Saya pun demikian, tetap bukan karena memikirkan Ibu. Tetapi karena hari Rabu itu juga saya harus meeting dengan Direksi. Yang pasti saat itu saya dan Ibu sama sama Galau. Yang membanggakan saya adalah, hasil yang di raih ibu untuk karya Tulis Ilmiah itu. Atas karyanya, para dosen penguji memberikan nilai A. Saya hanya berteriak dalam hati, “ LUAR BIASA !”

Sekarang, di masa pensiun nya beliau tetap berkarya. Adalah BKKBN Surabaya yang mengajak Ibu untuk melayani sesama didalam program Keluarga Berencana. Setiap hari senin-jumat  beliau harus melayani klinik yang di buat BKKBN. Beliau menerima ajakan ini bukan semata-mata untuk mendapatkan kesibukan apalagi mendapatkan gajinya. Yang membuat saya bangga adalah beliau hanya ingin melayani sesama nya lewat ilmu yang dimilikinya.
Sebagai anak,tentu saya tidak bisa hanya bangga. Tetapi sekarang saya sadar, bahwa saya harus meneladani keteguhannya. Saya harus belajar bagaimana menghadapi tantangan kehidupan. Dengan bahasa lain saya harus belajar kepada beliau, bagaimana menaklukan kehidupan. Saya merasa beruntung memiliki dia. Dengan segala kelebihan dan juga kekurangannya. Satu hal yang menjadi kekurangan terbesar nya adalah sikap keras kepala nya didalam memegang prinsip. Dan untuk yang satu ini, terkadang adik saya menangis dan merasa lelah menghadapinya.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada super woman di kehidupan nyata. Tetapi keteguhan dan pola pikir yang positif itulah yang harus kita teladani. Tak ada yang tak bisa bila kita mau melakukan nya dengan kesungguhan dan keuletan.

Ibu, terima kasih untuk keteladanan yang kau tunjunkan. Darimu aku belajar bagaimana menaklukan kehidupan…Dan…Aku bangga menjadi anakmu